Dosen Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat (STPM) Santa Ursula
Tiga Jurus Mengawal Penerimaan Negara di Era Digital
1 hari lalu
Mengawal penerimaan negara di era digital membutuhkan regulasi yang adaptif dan sejalan dengan teknologi yang canggih, dan literasi fisikal
***
Pola Ekonomi dunia telah berubah drastis di tengah gempuran arus revolusi digital. Dulunya transaksi dilakukan secara fisik dan kini berpindah ke ruang virtual. Orang telah terbiasa belanja lewat marketplace, jasa hiburan melalui platform streming, hingga aset digital seperti kripto dan Non-Fungible Token (NFT) telah menjadi realitas baru. Kondisi ini akan membawa dampak besar bagi penerimaan negara. Artinya, negara dihadapkan pada tantangan untuk menangkap potensi penerimaan dari ruang digital yang cendrung dinamis, tanpa batas dan kadang sulit terdeteksi.
Penerimaan negara di Indonesia masih sangat bergantung pada sektor perpajakan. Bersadarkan data dari badan pusat statistik, Kementerian keuangan RI pada tahun 2024, sebanyak 82,4% pendapatan negara berasal dari sektor pajak. Artinya, jika penerimaan dari sektor pajak terganggu, maka kemampuan negara untuk membiayai pembangunan dan pelayanan publik juga akan terganggu. Oleh karena itu, era digital dipandang bukan hanya sebagai tantangan, melainkan peluang besar untuk memperluas basis pajak dan menutup celah kebocoran.
Namun, upaya ini tidak bisa dilakukan dengan satu instrumen saja. Setidaknya ada sinergitas penting yang harus berjalan beriringan yaitu regulasi yang adaptif, teknologi yang mumpuni, serta literasi fiskal yang kuat.
Regulasi dalam Menata Aturan di Era Tanpa Batas
Regulasi adalah pondasi utama dalam mengawal penerimaan negara di era digital. Kita perlu apresiasi kebijakan Menteri Keuangan melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 37 Tahun 2025 yang menegaskan bahwa perlu adanya penatanan administrasi sistem perpajakan bagi Penyelenggara Perdagangan Melaui Sistem Elektronik (PMSE) agar tertib dan jelas.
Namun, masalahnya, perkembangan ekonomi digital seringkali lebih cepat daripada laju pembuatan aturan. Misalnya, bisnis digital lintas negara. Perusahaan teknologi raksasa bisa menghasilkan trilinuan rupiah dari konsumen Indonesia, tetapi tanpa kejelasan aturan, mereka bisa saja membayar pajak di yurisdiksi lain dengan tarif lebih rendah.
Indonesia sebenarnya sudah mulai bergerak. Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas produk digital luar negeri sejak tahun 2020 merupakan langkah yang penting. Layanan seperti Netflix, Spotify, atau Zoom kini wajib memungut PPN dari konsumennya di Indonesia. Selain itu, pemerintah juga terlibat dalam kesepakatan internasional melalui OECD/G20 Inclusive Framework on BEPS (Base Erosion and Profit Shifting) yang mendorong pajak global lebih adil bagi negara pasar seperti Indonesia.
Namun, masih banyak pekerjaan rumah. Regulasi harus terus diperbarui untuk mengantisipasi munculnya model bisnis baru, misalnya perdagangan aset digital, ekonomi berbasis AI, atau transaksi menggunakan mata uang kripto. Tanpa regulasi yang adaptif, negara akan selalu tertinggal selangkah dari para pelaku usaha digital yang bergerak lincah.
Lebih jauh lagi, regulasi tidak boleh hanya fokus pada aspek penarikan pajak, tetapi juga harus memperhatikan perlindungan konsumen, keamanan data, dan tata kelola lintas batas. Dengan begitu, iklim ekonomi digital bisa berkembang sehat, dan penerimaan negara pun lebih terjamin.
Teknologi sebagai Senjata Ampuh Meningkatkan Efisiensi dan Transparansi
Regulasi tanpa dukungan teknologi ibarat pedang yang tumpul. Di era digital, teknologi adalah kunci untuk meningkatkan efisiensi, transparansi, dan akuntabilitas penerimaan negara.
Direktorat Jenderal Pajak (DJP) sudah menerapkan berbagai inovasi seperti e-Filing, e-Billing, e-Faktur, dan pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) online. Langkah ini tidak hanya memudahkan wajib pajak, tetapi juga mengurangi potensi kecurangan. Dengan sistem yang otomatis, ruang manipulasi data semakin kecil.
Kemungkinan ke depan, penerimaan negara bisa ditopang oleh pemanfaatan big data dan Artificial Intelligence (AI). Dengan big data, otoritas pajak bisa memetakan perilaku wajib pajak secara lebih akurat, mendeteksi transaksi mencurigakan, dan memperluas basis pajak tanpa harus selalu mengandalkan pemeriksaan manual. AI bahkan bisa digunakan untuk mengidentifikasi pola penghindaran pajak dan memberikan rekomendasi kebijakan yang lebih tepat sasaran.
Selain itu, blockchain juga berpotensi menjadi teknologi masa depan dalam tata kelola penerimaan negara. Transparansi yang ditawarkan blockchain bisa meminimalisir praktik manipulasi dan mempercepat proses administrasi. Bayangkan jika semua transaksi keuangan besar terekam secara otomatis dalam sistem blockchain yang tidak bisa diubah maka ruang untuk penggelapan akan semakin sempit.
Namun, penerapan teknologi bukan tanpa risiko. Masalah keamanan siber, biaya investasi yang besar, dan resistensi dari sebagian pihak yang terbiasa dengan sistem lama adalah tantangan nyata. Oleh karena itu, penerapan teknologi harus diiringi dengan penguatan infrastruktur digital nasional serta komitmen politik yang kuat untuk menjaga keberlanjutan reformasi.
Literasi Fiskal untuk Membangun Kesadaran Kolektif
Regulasi dan teknologi yang hebat sekalipun akan percuma jika masyarakat tidak memiliki kesadaran untuk taat pajak. Inilah mengapa literasi fiskal menjadi pilar penting ketiga.
Di Indonesia, kepatuhan pajak masih relatif rendah. Salah satu penyebabnya adalah minimnya pemahaman masyarakat tentang pentingnya pajak. Bagi sebagian orang, pajak hanya dianggap sebagai beban, bukan kontribusi untuk pembangunan bersama. Padahal, jalan raya, sekolah, rumah sakit, dan berbagai layanan publik yang dinikmati setiap hari sebagian besar dibiayai dari pajak.
Era digital justru memberikan peluang emas untuk meningkatkan literasi fiskal. Media sosial, platform edukasi online, hingga aplikasi pajak berbasis mobile bisa dimanfaatkan untuk menyebarkan pemahaman fiskal secara lebih luas dan kreatif. Pemerintah bisa berkolaborasi dengan influencer, komunitas, bahkan pelaku usaha digital untuk membangun narasi positif tentang pajak.
Lebih jauh, literasi fiskal juga penting bagi pelaku usaha kecil dan menengah (UMKM) yang kini banyak tumbuh di ranah digital. Dengan pemahaman fiskal yang baik, mereka bisa lebih mudah memenuhi kewajiban pajaknya tanpa merasa terbebani atau bingung menghadapi birokrasi.
Menyatukan Regulasi, Teknologi dan Literasi Fisikal, Sebagai Jalan Panjang Menuju Masa Depan
Mengawal penerimaan negara di era digital jelas bukan tugas mudah. Regulasi yang adaptif harus sejalan dengan teknologi yang canggih, dan keduanya hanya akan efektif jika ditopang oleh literasi fiskal yang kuat di masyarakat .
Jika salah satu pilar lemah, maka penerimaan negara berpotensi bocor. Regulasi yang kaku membuat negara kehilangan potensi pajak dari model bisnis baru. Teknologi yang lambat akan membuka ruang manipulasi dan inefisiensi. Literasi fiskal yang rendah menyebabkan tingkat kepatuhan masyarakat tetap minim.
Sebaliknya, jika ketiganya berjalan beriringan, masa depan penerimaan negara akan lebih terjamin. Negara bisa memperoleh pendapatan yang stabil, masyarakat merasa adil dalam membayar pajak, dan pembangunan bisa berlangsung berkelanjutan.
Era digital adalah keniscayaan yang tidak bisa dihindari. Pilihannya hanya dua: beradaptasi atau tertinggal. Dalam konteks penerimaan negara, adaptasi berarti merancang regulasi yang fleksibel, memanfaatkan teknologi untuk transparansi, serta membangun literasi fiskal yang mendorong kesadaran kolektif.
Penerimaan negara adalah nafas pembangunan. Tanpa penerimaan yang kuat, sulit membayangkan layanan publik bisa berjalan optimal. Karena itu, mengawal penerimaan negara di era digital bukan hanya urusan pemerintah, melainkan juga tanggung jawab kita bersama sebagai warga negara.
Dengan regulasi yang bijak, teknologi yang maju, dan masyarakat yang melek fiskal, Indonesia mempunyai peluang besar untuk menjadikan era digital sebagai batu loncatan menuju kemandirian fiskal dan kesejahteraan bersama.

Penulis Indonesiana
0 Pengikut

Kinerja DPR Memprihatinkan, Gaji Malah Naik
Selasa, 19 Agustus 2025 14:06 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler